Kejadian dalam perjalanan rumah tangga bisa berakibat buruk bila tidak disikapi dengan baik dan bijak. Perlu dipikirkan masak-masak agar perjalanan keuangan yang mulus bisa tetap mulus.
Dalam kesempatan kali ini, saya ingin menyajikan beberapa kejadian yang sering kali muncul dalam kehidupan keuangan di masa kini. Misalnya, perihal gaji istri yang lebih besar, bagaimana menyikapi bila harus menyantuni keluarga yang kurang mampu atau malah kehidupan keluarga yang masih disubsidi oleh orang tua atau mertua. Agar tidak menambah buruk kondisi keuangan Anda dan pasangan, ada baiknya Anda mengikuti beberapa bagian artikel kita kali ini.
Minder karena Gaji Istri Lebih Tinggi
Bagi kebanyakan suami, gaji identik dengan harga dirinya sebagai kepala keluarga. Tak heran bila suami jadi minder hanya gara-gara gaji istrinya lebih tinggi.
Sebenarnya, minder-tidaknya suami tergantung dari kepribadian suami-istri itu sendiri dan sikap serta perlakuan masing-masing terhadap pasangannya. Bila istri rajin mengomel dan gemar mencerca, suami yang normal pun lama-lama akan minder. Sementara suami yang kurang PD alias tak percaya diri, tetap saja dibayangi rasa rendah diri, kendati istrinya sama sekali tak pernah mempersoalkan gajinya yang lebih tinggi.
Suami yang kurang atau malah enggak PD dan konsep harga dirinya rendah, umumnya juga kurang mampu membina hubungan interpersonal yang baik dengan siapa saja, bukan cuma dengan istrinya.
Pria tipe begini, bila memiliki istri berkedudukan/bergaji lebih tinggi, biasanya akan menjadikan dirinya makin merasa tak berarti. Celakanya, dalam keadaan seperti itu, tiap orang, termasuk suami, memiliki beragam defense untuk mempertahankan harga dirinya yang bisa berkembang menjadi konflik tak terselesaikan.
Sementara istri yang cenderung meremehkan suami, boleh jadi karena sejak kecil tak pernah melihat banyak uang atau merasakan kemewahan. Di saat mendapat kelimpahan materi, ia cenderung mudah lupa. Meski bukan tak mungkin suami-istri tersebut sebetulnya memang sudah bermasalah dan enggan mencari solusi yang sehat. Si istri, misalnya, sengaja menggunakan kesempatan dan cara-cara tersebut untuk balas dendam atau menyakiti suaminya. Padahal, kalau ada sesuatu yang tak beres, harusnya dikomunikasikan, bukan malah mencari jalan keluar ngawur semacam itu.
Faktor lain, istri dominan. Istri model ini umumnya memiliki need of power yang tinggi dan tak bisa mengendalikan emosi. Hati-hati, lo, Bu, dominasi istri, bisa mendorong suami mencari perempuan lain yang membuat dirinya merasa dihargai sebagai lelaki. Sekalipun ia mesti menghamburkan uang untuk "membeli" pengakuan tadi.
Sebenarnya, jika masalah di antara suami-istri cuma sebatas gaji, tak akan sampai menimbulkan konflik. Seberapa pun harga dirinya tersinggung, suami yang bersikap dewasa pasti mampu mengontrol dirinya. Ia akan mengajak istrinya berbicara kala si istri mulai menampakkan perilaku yang kurang menyenangkannya. Begitu juga istri yang dewasa, akan menegur dengan gaya bicara yang menyenangkan saat merasa tak nyaman dengan kondisi suaminya. Jadi, bukan berupa kritik pedas yang menyudutkan apalagi menjatuhkan atau menghancurkan.
Bila Harus Menyantuni Ipar dan Mertua
Urusan ipar dan mertua memang sensitif. Terlebih yang menyangkut soal uang. Kuncinya cuma keterbukaan sejak awal.
Perkawinan di Indonesia, pada dasarnya adalah perkawinan yang melibatkan keluarga besar. Dengan demikian, baik adik, kakak, ayah, maupun ibu, seringkali terlibat atau melibatkan diri ke dalam hidup perkawinan kita. Bahkan, dalam soal-soal yang pribadi pun seperti masalah keuangan, mereka juga terlibat.
Nah, lantaran kepentingan keluarga besar masih sering diperhitungkan, maka membantu ipar/mertua dalam soal keuangan pun sering dilakukan. Biasanya, anak sulunglah, terutama lelaki, yang kerap jadi andalan. Hal ini bisa menimbulkan konflik di antara suami-istri bila sejak awal tak ada keterbukaan.
Memang, bukan berarti perkawinan akan mulus-mulus saja sekalipun, kesediaan menyokong ipar/mertua sudah disepakati kedua belah pihak. Namun, konfliknya bukan bersumber dari suami-istri itu sendiri, melainkan dari si ipar/mertua yang bersikap tak tahu diri.
Misal, si kakak/anak cuma bisa bantu Rp 1.000, tapi si adik/orang tua ngotot minta Rp 10.000. Kalau tak diberi, mereka malah menjelek-jelekkan keluarga kakak/anaknya. Ya, jelas, dong, kalau akhirnya timbul konflik baru gara-gara si ipar/mertua ngelunjak. Ipar/mertua yang demikian sering bersikap dan merasa bahwa kewajiban sang kakak/anaklah untuk membantunya sehingga dia juga ikut "berkuasa" dalam soal keuangan.
Bila hubungan pasutri jadi runyam gara-gara menanggung ipar/mertua, maka masing-masing pihak harus membuka diri untuk mencari solusi. Kalau memang bantuan mau tak mau harus diberikan, buatlah daftar skala prioritas.
Misal, apa saja prioritas pengeluaran suami-istri; apakah untuk anak-anak atau keluarga besar? Bukankah suami-istri juga perlu menabung untuk kebutuhan biaya sekolah anak-anak kelak? Ingat, biaya sekolah zaman sekarang enggak sedikit. Kita harus menabung sejak anak-anak masih balita.
Dengan membuat daftar skala prioritas, pos-pos di luar kebutuhan rutin seperti uang bantuan untuk ipar/mertua, harus didiskusikan bersama seberapa besar dan untuk keperluan apa saja yang boleh disokong. Meskipun suami atau istri dibesarkan dalam keluarga yang sering saling bantu dalam hal keuangan, namun bila sudah menikah hendaknya setiap bantuan yang diberikan kepada adik/orang tua atau keluarga besarnya harus sepengetahuan pasangannya. Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk orang lain di luar keluarga inti, suami dan istri sudah sama-sama tahu dan setuju jumlahnya. Dengan demikian, konflik soal tanggung-menanggung ipar/mertua bisa dihindarkan.
Tentu saja, dalam menyokong ipar/mertua hendaknya dilakukan setelah kebutuhan keluarga inti terpenuhi. Jadi, bantulah sesuai kemampuan, tak usah gengsi soal besarnya.
Masih Disubsidi Orang Tua
Tak masalah, kok. Yang penting, pasangan setuju dan orang tua pun tak lantas mengintervensi kehidupan perkawinan anaknya.
Subsidi harus dibedakan dengan hadiah. Subsidi adalah pemberian rutin, sedangkan hadiah hanya diberikan sesekali. Mobil atau rumah yang diberikan sekali setelah menikah, bisa digolongkan sebagai hadiah. Istilahnya, modal dari orang tua atau mertua untuk berumah tangga.
Setelah menikah pun, sebenarnya boleh-boleh saja subsidi dari orang tua salah satu pihak tetap diterima. Tentu dengan syarat, kondisinya benar-benar mendesak. Misal, untuk kebutuhan primer. Di luar itu, seperti subsidi untuk kegiatan bersenang-senang, rasanya tak perlu karena jadinya terlalu berlebihan.
Sebenarnya, wajar saja bila kemudian orang tua/mertua ingin tahu, apakah bantuannya dimanfaatkan seperti yang diharapkan. Namun, tak berarti semua hal boleh dicampurinya. Pemanfaatan subsidi hanya boleh diintervensi sebatas saran. Setiap pasangan hendaknya punya independensi untuk mengelolanya. Antara suami dan istri pun harus ada kesepakatan dulu, apakah subsidi, dalam bentuk apa pun, semisal uang atau kiriman makanan secara rutin, akan mereka terima atau tidak. Setelah itu, apa pun konsekuensi dari keputusan yang diambil bersama, harus diterima.
Yang penting diingat, kendati subsidi jalan terus, sebagai keluarga yang "merdeka dan berdaulat", harusnya suami-istri bisa menolak saran mertua/orang tua yang dirasa tidak pas. Tentu saja penolakannya secara halus agar tak menimbulkan salah paham. Kalau sarannya memang bagus, tak ada salahnya diterapkan.
Masalahnya, yang sering terjadi, karena merasa sudah dibantu, semua yang disarankan mertua/orang tua seakan wajib dilaksanakan. Pada kondisi seperti inilah suami-istri bisa tertekan dan merasa terus diintervensi.
Kalaupun keberatan dengan subsidi yang diberikan, suami-istri harus kompak menyampaikannya dengan cara enak. Misalnya, "Bukannya tidak mau, Ma. Siapa, sih, yang enggak senang masih dipikirin orang tua? Tapi kami juga ingin belajar mandiri. Kami hanya takut jadi kurang termotivasi kalau terus-menerus dibantu. Nanti kalau sampai ada apa-apa, toh, balik-baliknya, ya, ke Papa dan Mama juga."
Jika tak bisa ditolak sama sekali, usulkan baik-baik, bagaimana kalau pemberian hanya diberikan bila ada momen khusus semisal hari raya, ulang tahun, dan sebagainya. Yang sulit ditolak adalah pemberian yang dilakukan secara ikhlas sebagai tanda sayang tanpa menuntut apa pun.
Tentu saja setiap penolakan bisa menyinggung perasaan mereka, lalu subsidi dihentikan. Oleh karena itu, pasangan sudah harus siap mempertahankan apa yang mereka yakini benar dan konsekuen terhadap pilihannya. Termasuk risiko penghentian subsidi dari orang tua/mertua.
Namun, subsidi yang diberikan terus-menerus bisa berdampak buruk. Pasangan yang selalu mendapatkan semua hal dengan mudah, jadi tak termotivasi untuk meningkatkan diri. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mengulang hal-hal yang menyenangkan hatinya dan menghentikan semua yang tak menyenangkan. Sesuatu yang menyenangkan tadi bisa didapatnya dengan mudah. Alhasil, dorongan untuk mengusahakannya sendiri jadi tak ada.
Jika berlarut-larut, efek dari dampak ini pun nantinya akan sampai ke anak. Orang tua akan kehilangan wibawa di mata anaknya, karena kebutuhan keluarga masih dibantu kakek-neneknya. Bisa-bisa anak lebih menghormati kakek-nenek dibanding orang tuanya. Di sisi lain, anak tak termotivasi untuk mandiri karena semangat itu tak bisa diberikan orang tuanya.
Demikianlah beberapa kejadian kehidupan yang terkadang bisa mengubah arah perjalanan keuangan yang tadinya baik malah bisa berantakan. Semoga ulasan singkat ini menambah wawasan serta pengetahuan Anda. n
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar